Saturday, May 2, 2020

KANUNANG, QUO VADIS!

Beberapa tahun yang lalu, aku  diajak ngobrol dengan ambe’ku Nenek Rere tentang  Gandangbatu pasca perang Buntu Ambeso - Alla’. Topiknya adalah apa yang pernah  disampaikan oleh ambe’na  dan oleh ambe’ku  Nenek Rere tertarik untuk meneruskan  ke aku. Kalau dalam bahasa toraja lazim disebut kada diannan.

Sebenarnya  lebih  menarik  kalau  artikel  ini  ditulis  dalam  bahasa  Gandangbatu.  Namun, karena tidak semua keluarga (pa’rapuan) mengerti “bahasa ibu” maka aku  tulis dengan memakai bahasa Indonesia.

Usai  perang  Buntu  Ambeso  –  Alla’  

Kolonial  Belanda  membentuk  pemerintahan  di Gandangbatu  dengan  status  onder  districk  Mengkendek  dengan  nama  Bua’ Gandangbatu.  Sewaktu  pemilihan  Kapala  Bua’,  Belanda  mengumpulkan  para  bangsawan Gandangbatu untuk memilih Kapala Bua’ Gandangbatu. Secara aklamasi  memilih So’ Ra’bang karena dia adalah putra  to bara’  Bara’paongan Lombokjioan. Namun,  So’  Ra’bang  mengusulkan  Tutang,  katanya:  “Tutang  berani  dan  pintar”.  Tutang menolak karena So’ Ra’bang lebih pas dan umur lebih tua darinya. 

Sebagai  penghormatan  kepada  Tutang,  maka  So’  Ra’bang  atas  mufakat  para  bangsawan  Gandangbatu,  menyerahkan  wilayah  Kanunang  –  Lokko’  dan  sekitarnya  sebagai daerah yang dikuasai Tutang. “Semacam daerah istimewa”: ujar Nenek Rere. Lalu aku tanya Nenek Rere;  “apakah mungkin di Kanunang dibangun  Tongkonan?”. Nenek Rere menyatakan bahwa sangat mungkin. Kalau di Toraja dikenal Tongkonan batu  a’riri  maka  di  Gandangbatu,  nama  yang  pas  adalah  Lambingna  tongkonan Lomboklalanan.

Lanjut  Nenek  Rere,  di  zaman  pra  perang  Buntu  Ambeso  –  Alla’,  Tutang  adalah  panglima perang. Gudang senjata dekat Rumahnya di To’balole. Rumah dijaga oleh  nenek  yang  matanya  sudah  rabun.  Suatu  malam,  dia  tidak  melihat  pelita  yang  menyala,  tersentuh  sehingga  rumah,  gudang  senjata,  senjata  lengkap  persediaan  peluru, terbakar habis.

Kanunang, Qua Vadis!

Sisa-sisa  keindahan  Kanunang  masih  kunikmati.  Waktu  itu  banuanna  Tutang  sudah  tidak  ada  karena  dibakar  oleh  DI/TII.  Tapi  lingkungan  yang  asri  masih  nampak,  dikelilingi  tanaman  kayu  keras  yang  menjadi  ciri  khas  kampong  toraja  (pattung,  parrin,  ao’,  bulo,  buangin,  pao,  lemo).  Di  Lo’ko’  juga  ada  pattung,  parrin  dan  buangin.  Suatu  waktu  aku  memotong  tallang  di  Kanunang,  lalu  dimarahi  ambe’ku Pottawan. Saat yang sama, mengambil  bola pattung  juga dimarahi  ambe’ku  Nenek  Anti’.  Kalau  dulu  aku  ngomel,  tapi  kini  sadar  bahwa  orang  tua  kita  zaman  dahulu  sangat melestarikan lingkungan hidup. Itu doeloe!
Lalu sekarang bagaimana? 
Kanunang  sudah  tidak  lestrari,  kayu  tua  dibabat  tanpa  pertimbangan  yang  cerdas.  Bahkan ada informasi bahwa sebagian tanah di Kanunang dan To’balole dijual.  Dan tragisnya, pelakunya adalah segelintir rapunta.
Menyedihkan!

Sumber: J. Pallay

No comments:

Post a Comment