Beberapa tahun yang lalu, aku diajak ngobrol dengan ambe’ku Nenek Rere tentang Gandangbatu pasca perang Buntu Ambeso - Alla’. Topiknya adalah apa yang pernah disampaikan oleh ambe’na dan oleh ambe’ku Nenek Rere tertarik untuk meneruskan ke aku. Kalau dalam bahasa toraja lazim disebut kada diannan.
Sebenarnya lebih menarik kalau artikel ini ditulis dalam bahasa Gandangbatu. Namun, karena tidak semua keluarga (pa’rapuan) mengerti “bahasa ibu” maka aku tulis dengan memakai bahasa Indonesia.
Usai perang Buntu Ambeso – Alla’
Kolonial Belanda membentuk pemerintahan di Gandangbatu dengan status onder districk Mengkendek dengan nama Bua’ Gandangbatu. Sewaktu pemilihan Kapala Bua’, Belanda mengumpulkan para bangsawan Gandangbatu untuk memilih Kapala Bua’ Gandangbatu. Secara aklamasi memilih So’ Ra’bang karena dia adalah putra to bara’ Bara’paongan Lombokjioan. Namun, So’ Ra’bang mengusulkan Tutang, katanya: “Tutang berani dan pintar”. Tutang menolak karena So’ Ra’bang lebih pas dan umur lebih tua darinya.
Sebagai penghormatan kepada Tutang, maka So’ Ra’bang atas mufakat para bangsawan Gandangbatu, menyerahkan wilayah Kanunang – Lokko’ dan sekitarnya sebagai daerah yang dikuasai Tutang. “Semacam daerah istimewa”: ujar Nenek Rere. Lalu aku tanya Nenek Rere; “apakah mungkin di Kanunang dibangun Tongkonan?”. Nenek Rere menyatakan bahwa sangat mungkin. Kalau di Toraja dikenal Tongkonan batu a’riri maka di Gandangbatu, nama yang pas adalah Lambingna tongkonan Lomboklalanan.
Lanjut Nenek Rere, di zaman pra perang Buntu Ambeso – Alla’, Tutang adalah panglima perang. Gudang senjata dekat Rumahnya di To’balole. Rumah dijaga oleh nenek yang matanya sudah rabun. Suatu malam, dia tidak melihat pelita yang menyala, tersentuh sehingga rumah, gudang senjata, senjata lengkap persediaan peluru, terbakar habis.
Kanunang, Qua Vadis!
Sisa-sisa keindahan Kanunang masih kunikmati. Waktu itu banuanna Tutang sudah tidak ada karena dibakar oleh DI/TII. Tapi lingkungan yang asri masih nampak, dikelilingi tanaman kayu keras yang menjadi ciri khas kampong toraja (pattung, parrin, ao’, bulo, buangin, pao, lemo). Di Lo’ko’ juga ada pattung, parrin dan buangin. Suatu waktu aku memotong tallang di Kanunang, lalu dimarahi ambe’ku Pottawan. Saat yang sama, mengambil bola pattung juga dimarahi ambe’ku Nenek Anti’. Kalau dulu aku ngomel, tapi kini sadar bahwa orang tua kita zaman dahulu sangat melestarikan lingkungan hidup. Itu doeloe!
Lalu sekarang bagaimana?
Kanunang sudah tidak lestrari, kayu tua dibabat tanpa pertimbangan yang cerdas. Bahkan ada informasi bahwa sebagian tanah di Kanunang dan To’balole dijual. Dan tragisnya, pelakunya adalah segelintir rapunta.
Menyedihkan!
Sumber: J. Pallay
Sumber: J. Pallay